Oleh: Jalaluddin Rakhmat
Ada banyak nama untuk bulan Ramadhan. Nabi Muhammad (s.a.w) menyebutnya
Bulan Keberkahan, Bulan Kesabaran, Bulan Ampunan, dan Bulan Berbagi
(Syahr al-Muwasat).
Pada bulan ini orang kaya bukan saja harus berbagi
kekayaan dengan orang miskin, ia juga harus ikut berempati dengan
penderitaan mereka. Orang beruntung harus berbagi kebahagiaan dengan
orang yang malang. Perintah untuk berbagi ini diingatkan dengan doa yang harus dibaca setiap selesai shalat wajib:
Ya Allah, masukkan kebahagiaan kepada para penghuni kubur
Ya Allah, kayakanlah semua orang yang miskin
Ya Allah, kenyangkan semua orang yang lapar
Ya Allah, beri pakaian semua orang yang telanjang
Ya Allah, tunaikan utang semua orang yang berutang
Ya Allah, lepaskan derita semua orang yang menderita
Ya Allah, kembalikan semua orang yang terasing
Ya Allah, bebaskan semua orang yang terpenjara
Ya Allah, sembuhkan semua orang yang sakit
Bersamaan dengan doa yang mereka lantunkan, semua Muslim harus
menjadi tangan-tangan Tuhan untuk memenuhi doa itu. “Puasa itu hanya
untuk Aku,” kata Tuhan. Puasa dipersembahkan hanya untuk Tuhan. Tidak
ada persembahan yang paling agung selain perkhidmatan kepada
makhlukNya. Mencintai Tuhan hanya dapat dilakukan dengan mencintai
sesama manusia. Karena itu, amal yang paling dicintai Tuhan pada Bulan
Berbagi bukanlah ibadah ritual yang bersifat individual, tetapi ibadah
sosial yang membagikan kebahagiaan kepada orang banyak.
Mencintai Tuhan dengan mencintai manusia digambarkan Leigh Hunt,
penyair Inggeris, dalam kisah seorang sufi, Abou Ben Adhem. Abou
Ben Adhem (semoga kabilahnya bertambah) satu malam terbangun dari
mimpinya yang indah. Dan ia lihat, di ruangan dalam cahaya terang
rembulan, yang gemerlap ceria seperti bunga lili yang sedang merekah,
seorang malaikat menulis pada kitab emas. Ketenteraman jiwa membuat Abou
berani berkata kepada sang Sosok di kamarnya, “Apa yang sedang kamu
tulis?”
Bayangan terang itu mengangkat kepalanya dan dengan pandangan yang
lembut dan manis ia berkata, “Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan.”
“Adakah namaku di situ?” kata Abou. “Tidak. Tidak ada,” jawab malaikat.
Abou berkata dengan suara lebih rendah, tapi tetap ceria, “Kalau begitu
aku bermohon, tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia.”
Malaikat menulis dan menghilang.
Pada malam berikutnya ia datang lagi dengan cahaya yang menyilaukan
dan memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Aduhai! Nama
Abou Ben Adhem di atas semua nama.
Menolong mereka berarti menolong Aku
Abou Ben Adhem mungkin lahir di negara yang sekarang ini disebut
Afganistan. Ia tidak begitu dikenal dibandingkan dengan teman
senegaranya, Jalaluddin Balkhi (alias Rumi). Tetapi, keduanya menekankan
pentingnya kecintaan kepada Tuhan sebagai hakikat keberagamaan. Bagi kita semua, Rumi mendendangkan lagu ini:
Marilah kita jatuh cinta lagi/ Dan sebarkan debu emas ke seluruh
penjuru Bumi/ Marilah kita menjadi musim semi baru/ Dan merasakan tiupan
lembut dalam wewangian surgawi/ Marilah kita busanai bumi dalam
kehijauan/ Dan seperti getah pohon yang muda/ Biarkan berkat dari dalam
mengaliri kita/ Marilah kita ukir permata dari hati kita yang membatu/
Dan pancarkan cahayanya untuk menyinari jalan cinta/ Lirikan cinta
sejernih kristal dan kita diberkati karena cahayanya.
Baik Abou Ben Adhem maupun Rumi percaya bahwa kita tidak bisa
mencintai Tuhan tanpa mencintai sesama manusia. Mereka menegaskan
kembali apa yang dikatakan Tuhan kepada hamba-Nya pada hari kebangkitan:
pada hari kiamat, Tuhan memanggil hamba-hamba- Nya.
Ia berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Aku lapar, tapi
kamu tidak memberi makan kepada-Ku.” Ia berkata kepada yang lainnya,
“Aku haus, tapi kamu tidak memberiku minum.” Ia berkata kepada hamba-Nya
yang lainnya lagi, “Aku sakit, tapi kamu tidak menjenguk-Ku. ” Ketika
hamba-hamba- Nya mempertanyakan semuanya ini, Ia menjawab, “Sungguh si
fulan lapar; jika kamu memberi makan kepadanya, kamu akan menemukan Aku
bersamanya. Si fulan sakit; jika kamu mengunjunginya, kamu akan
menemukan Aku bersamanya. Si fulan haus; jika kamu memberinya minum,
kamu akan menemukan Aku bersamanya.” (Ibn Arabi sering mengutip hadis
ini dalam Al-Futuhat al-Makkiyah) .
Ketika seorang murid baru mengikuti tarekat, syaikh-nya akan
mengajarinya untuk menjalankan tiga tahap latihan rohaniah selama tiga
tahun. Ia baru diizinkan mengikuti Jalan Tasawuf bila ia lulus
melewatinya. Tahun pertama adalah latihan berkhidmat kepada sesama
manusia. Tahun kedua beribadat kepada Tuhan, dan tahun ketiga mengawasi
hatinya sendiri. Kita tidak bisa beribadat kepada Tuhan sebelum kita
berkhidmat kepada sesama manusia. Menyembah Allah adalah berkhidmat
kepada makhluk-Nya.
Abou Said Abul Khayr terkenal sebagai sufi yang pertama kali
mendirikan tarekat sufi. Ketika salah seorang pengikutnya menceritakan
seorang suci yang dapat berjalan di atas air, ia berkata, “Sejak dahulu
katak dapat melakukannya! ” Ketika muridnya kemudian menyebut orang yang
dapat terbang, ia menjawab singkat, “Lalat dapat melakukannya lebih
baik.” Muridnya bertanya, “Guru, gerangan apakah ciri kesucian itu?” Ia
menjawab, “Cara terbaik untuk mendekati Tuhan adalah melakukan
perkhidmatan sebaik-baiknya kepada sesama manusia, memasukkan
kebahagiaan ke dalam hatinya.”
Mungkin karena perhatiannya yang sangat besar pada cinta kasih,
tasawuf dianggap mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan agama
Kristen. Tor Andrae, pernah menjadi bishop Lutheran dari Linkvping,
mengungkapkan bagaimana Yesus sering dijadikan rujukan dalam
ucapan-ucapan para sufi. Mereka belajar dari Yesus bukan saja tentang
kesederhanaan hidup yang dijalankannya, tetapi juga perhatiannya untuk
menolong orang lain.
Namun, kaum sufi bukan hanya merujuk kepada Kristus, mereka juga
belajar jalan cinta dari Musa. Seorang syaikh menyampaikan cerita
berikut ini, Kaum Bani Israil satu kali mendatangi Musa, “Wahai Musa,
kami ingin mengundang Tuhan untuk menghadiri jamuan makan kami.
Bicaralah kepada Tuhan supaya Dia berkenan menerima undangan kami.”
Dengan marah Musa menjawab, “Tidakkah kamu tahu bahwa Tuhan tidak
memerlukan makanan?” Tetapi, ketika Musa menaiki bukit Sinai, Tuhan
berkata kepadanya, “Kenapa tidak engkau sampaikan kepada-Ku undangan
itu? Hamba-hamba- Ku telah mengundang Aku. Katakan kepada mereka, Aku
akan datang pada pesta mereka Jumat petang.”
Musa menyampaikan sabda Tuhan itu kepada umatnya. Berhari-hari mereka
sibuk mempersiapkan pesta itu. Pada Jumat sore, seorang tua tiba dalam
keadaan lelah dari perjalanan jauh. “Saya lapar sekali,” katanya kepada
Musa. “Berilah aku makanan.” Musa berkata, “Sabarlah, Tuhan Rabbul
Alamin akan datang. Ambillah ember ini dan bawalah air ke sini. Kamu
juga harus memberikan bantuan.” Orang tua itu membawa air dan sekali
lagi meminta makanan. Tapi tak seorang pun memberikan makanan sebelum
Tuhan datang. Hari makin larut, dan akhirnya orang-orang mulai mengecam
Musa yang mereka anggap telah memperdayakan mereka.
Musa menaiki bukit Sinai dan berkata, “Tuhanku, saya sudah
dipermalukan di hadapan setiap orang karena Engkau tidak datang seperti
yang Engkau janjikan.” Tuhan menjawab, “Aku sudah datang. Aku telah
menemui kamu langsung, bahkan ketika Aku bicara kepadamu bahwa Aku
lapar, kau menyuruh Aku mengambil air. Sekali lagi Aku minta, dan sekali
lagi engkau menyuruh-Ku pergi. Baik kamu maupun umatmu tidak ada yang
menyambut-Ku dengan penghormatan. “
“Tuhanku, seorang tua memang pernah datang dan meminta makanan, tapi ia hanyalah manusia biasa,” kata Musa.
“Aku bersama hamba-Ku itu. Sekiranya kamu memuliakan dia, kamu
memuliakan Aku juga. Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku.
Seluruh langit terlalu kecil untuk meliputi-Ku, tetapi hanya hati
hamba-Ku yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan minum, tetapi
menghormati hamba-Ku berarti menghormati Aku. Melayani mereka berarti
melayani Aku.”
Berbakti kepada sesama manusia bukanlah kewajiban sekelompok orang.
Setiap Muslim apa pun jenis kelamin, usia, dan status sosialnya
berkewajiban memperlakukan semua orang dengan baik.
Dalam Al-Quran juga ada perintah, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan- Nya dengan sesuatu pun. Berbaktilah kepada kedua
orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang
kehabisan bekal, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, yaitu orang-orang
yang kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya
kepada mereka. Kami telah menyediakan orang-orang kafir seperti itu,
siksa yang menghinakan. ” (QS An Nisaa: 36-37)
Menolong Harus Tulus
Tindakan membahagiakan orang lain disebut sebagai shadaqah. Kata ini
berasal dari “shadaqa”, yang berarti benar sejati atau tulus. Orang yang
bersedekah adalah orang yang imannya tulus. Sedekah tidak selalu
berbentuk harta atau uang. “Termasuk sedekah adalah engkau tersenyum
ketika berjumpa dengan saudaramu, atau engkau singkirkan duri dari
jalanan,” kata Nabi Muhammad SAW.
Untuk bisa menolong orang lain dengan tulus, kita memerlukan
kecintaan tanpa syarat (unconditional love) kepada semua orang. Cinta
inilah yang dimasukkan sebagai fitrah dalam hati kita. Cinta ini adalah
seperseratus dari Rahmat Allah yang dijatuhkan Tuhan di Bumi.
Alkisah, bertahun-tahun yang lalu, seorang ibu dari salah seorang
sultan dari Khilafah Utsmaniyah membaktikan hidupnya untuk kegiatan amal
saleh. Ia membangun masjid, rumah sakit besar, dan sumur-sumur umum
untuk daerah permukiman yang tidak punya air di Istanbul , Turki. Pada suatu hari, ia mengawasi pembangunan rumah sakit yang dibiayai
sepenuhnya dari kekayaannya. Ia melihat ada semut kecil jatuh pada
adukan beton yang masih basah. Ia memungut semut itu dan menempatkannya
pada tanah yang kering.
Tidak lama setelah itu, ia meninggal dunia. Kepada banyak kawannya,
ia muncul dalam mimpi mereka. Ia tampak bersinar bahagia dan cantik.
Kawan-kawannya bertanya, apakah ia masuk ke surga karena sedekah-sedekah
yang dilakukannya ketika masih hidup? Ia menjawab, “Saya tidak masuk
surga karena semua sumbangan yang sudah aku berikan. Saya masuk surga
karena seekor semut.”
(Renungan ini semula berupa makalah dengan judul Die Ethik des
Helfens im Islam, yang disampaikan Jalaluddin Rakhmat pada seminar “Die
Ethik des Helfens aus der Sich verschiedener Religionen”, Basel, 8-13
September 2002).